Saatnya Menerima Pernikahan Beda Agama?

BERITABDG.COM – Jagad dunia maya baru-baru ini kembali diramaikan oleh netizen yang memperbincangkan pernikahan salah satu Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Ayu Kartika Dewi pada Jumat (18/3/2022).
Stafsus milenial Jokowi yang seorang Muslim itu menikah dengan Gerald Sebastian, dengan menggelar akad nikah pada pagi hari dan pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta pada siang harinya.
Sebelumnya, warganet di media sosial juga memperbincangkan foto pernikahan beda agama sepasang kekasih di Semarang, Jawa Tengah.
Mempelai perempuan seorang Muslim menikah dengan mempelai pria yang merupakan Nasrani.
Seperti apa aturan menikah beda agama di Indonesia dan apa saja konsekuensinya? Simak penjelasan berikut ini, dirangkum dari berbagai sumber oleh Beritabdg.com.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan beda agama tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Wamenag menyebut regulasi pernikahan di Indonesia berdasar pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 UU itu dijelaskan, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
“Pasal ini bahkan pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014, dan sudah keluar putusan MK yang menolak judicial review tersebut,” jelas Zainut.
Penjelasan konsultan hukum
Konsultan Hukum di bidang keluarga Hanna Marissa, S.H., M.Commerce menjelaskan terkait hal ini dalam sebuah artikel Justika yang dimuat berbagai sumber (7/1/2022).
Hanna menjelaskan, mengacu UU Perkawinan yang berlaku, pernikahan beda agama di Indonesia tidak dianggap sah oleh hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pihak lainnya.
Ini dipertegas dengan Surat Edaran dari Mahkamah Agung tanggal 30 Januari 2019 No.231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 yang menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama.
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)”.
Konsekuensi menikah beda agama Jika pernikahan beda agama tetap dilakukan, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh kedua belah pihak yang menjalankan pernikahan, juga anak hasil dari perkawinannya.
1. Status hukum dan kedudukan anak dalam hukum waris
Hanna menyebut, dalam perkara ini konsekuensi yang paling utama adalah terkait dengan status hukum sang anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 4 disebutkan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”
Kemudian dalam Pasal 44 KHI disebutkan: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
“Secara singkat pasal tersebut menjelaskan, apabila ada anak yang lahir dari perkawinan beda agama, maka anak tersebut hanya akan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja (Pasal 100, KHI),” jelas Hanna.
Hal itu lantaran Pasal 99 (a) KHI menyebut anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah baik secara agama maupun hukum yang berlaku.
“Jadi, anak yang dilahirkan karena perkawinan beda agama menjadi tidak sah atau dianggap anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga Ibunya saja,” jelas Hanna, mengacu pada Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.
Lebih jauh, status hukum anak yang lahir dari pernikahan beda agama ini akan berbuntut pada hak dan kedudukannya dalam hukum waris.
Status pernikahan Hanna mengatakan, dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dinyatakan bahwa perkawinan adalah hal penting yang perlu untuk dilaporkan dan dicatat oleh Instansi Pelaksana.
Jadi, pernikahan yang sah secara agama tidak serta merta menjadi sah secara hukum apabila tidak dicatatkan menurut undang-undang yang berlaku.
Oleh karena perkawinan tidak sah secara hukum, maka status hukum dari individu tersebut adalah belum menikah meskipun secara agama sudah menikah. ***

 

 

BERITABDG.COM – Jagad dunia maya baru-baru ini kembali diramaikan oleh netizen yang memperbincangkan pernikahan salah satu Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Ayu Kartika Dewi pada Jumat (18/3/2022).
Stafsus milenial Jokowi yang seorang Muslim itu menikah dengan Gerald Sebastian, dengan menggelar akad nikah pada pagi hari dan pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta pada siang harinya.
Sebelumnya, warganet di media sosial juga memperbincangkan foto pernikahan beda agama sepasang kekasih di Semarang, Jawa Tengah.
Mempelai perempuan seorang Muslim menikah dengan mempelai pria yang merupakan Nasrani.
Seperti apa aturan menikah beda agama di Indonesia dan apa saja konsekuensinya? Simak penjelasan berikut ini, dirangkum dari berbagai sumber oleh Beritabdg.com.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan beda agama tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Wamenag menyebut regulasi pernikahan di Indonesia berdasar pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 UU itu dijelaskan, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
“Pasal ini bahkan pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014, dan sudah keluar putusan MK yang menolak judicial review tersebut,” jelas Zainut.
Penjelasan konsultan hukum
Konsultan Hukum di bidang keluarga Hanna Marissa, S.H., M.Commerce menjelaskan terkait hal ini dalam sebuah artikel Justika yang dimuat berbagai sumber (7/1/2022).
Hanna menjelaskan, mengacu UU Perkawinan yang berlaku, pernikahan beda agama di Indonesia tidak dianggap sah oleh hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pihak lainnya.
Ini dipertegas dengan Surat Edaran dari Mahkamah Agung tanggal 30 Januari 2019 No.231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 yang menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama.
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)”.
Konsekuensi menikah beda agama Jika pernikahan beda agama tetap dilakukan, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh kedua belah pihak yang menjalankan pernikahan, juga anak hasil dari perkawinannya.
1. Status hukum dan kedudukan anak dalam hukum waris
Hanna menyebut, dalam perkara ini konsekuensi yang paling utama adalah terkait dengan status hukum sang anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 4 disebutkan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”
Kemudian dalam Pasal 44 KHI disebutkan: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
“Secara singkat pasal tersebut menjelaskan, apabila ada anak yang lahir dari perkawinan beda agama, maka anak tersebut hanya akan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja (Pasal 100, KHI),” jelas Hanna.
Hal itu lantaran Pasal 99 (a) KHI menyebut anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah baik secara agama maupun hukum yang berlaku.
“Jadi, anak yang dilahirkan karena perkawinan beda agama menjadi tidak sah atau dianggap anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga Ibunya saja,” jelas Hanna, mengacu pada Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.
Lebih jauh, status hukum anak yang lahir dari pernikahan beda agama ini akan berbuntut pada hak dan kedudukannya dalam hukum waris.
Status pernikahan Hanna mengatakan, dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dinyatakan bahwa perkawinan adalah hal penting yang perlu untuk dilaporkan dan dicatat oleh Instansi Pelaksana.
Jadi, pernikahan yang sah secara agama tidak serta merta menjadi sah secara hukum apabila tidak dicatatkan menurut undang-undang yang berlaku.
Oleh karena perkawinan tidak sah secara hukum, maka status hukum dari individu tersebut adalah belum menikah meskipun secara agama sudah menikah. ***